Senin, 19 November 2007

Cinta dari balik tujuh bukit (1)


Karya berlari kencang mendaki bukit keenam. Kakinya yang telanjang mencumbu setiap jengkal tanah basah yang ia lewati. Kubangan-kubangan penuh air bekas hujan semalam ia lompati dengan aman. Jurang dan lereng bukit yang curam selalu berhasil dilalui. Hutan dan jembatan bambu yang diikat ke pohon besar dengan tali ijuk sudah jauh ia lewati.


Jembatan bambu di tengah hutan itulah tempat Karya dan Sukesih biasa bertemu setiap hari. Memandangi wajah Sukesih yang syahdu di balik kain lurik yang melilit tubuhnya. Kakinya yang panjang tak ragu melewati jembatan bambu yang ringkih dan hampir mati. Matanya yang bulat dan tajam tampak serasi dengan hidungnya yang bangir. Bila purnama tiba, kulitnya yang kuning memantulkan cahaya bulan.


Sukesih bukan gadis Baduy biasa. Ia lahir dari keturunan Puun, seorang pemimpin adat tertinggi di suku Baduy dalam. Kebanyakan orang-orang memanggilnya dengan sebutan jaro Sukarna. Sehingga jaro Sukarna akan memilih sendiri calon pendamping bagi anak perempuan semata wayangnya.


Karya berhenti sejenak begitu sampai di puncak bukit keenam. Ia membetulkan sedikit ikat kepala warna hitamnya yang mulai kedodoran di balik rambutnya yang pendek dan rapi. Kaos hitam berlambang kelinci putih di dada kanannya mulai terlihat basah. Celana hitamnya yang agak kebesaran hampir menutupi kakinya yang telanjang. Golok terselip di pinggangnya tampak berkilau tertimpa cahaya matahari. Perutnya yang terlihat menonjol naik-turun mengikuti irama nafasnya. Matanya awas mengamati asap dari perkampungan kecil di lereng bukit ke tujuh.


“Tinggal satu bukit lagi, maka aku akan membawa lari Sukesih” batinnya bergumam penuh harap.


Dibukanya botol air mineral yang sedari pagi tersimpan rapi di dalam tas akar kayu yang di cangklong di pundaknya. Ia basahkan tenggorokannya yang sejak tadi mengering. Bayangan wajah Sukesih jelas tergambar dalam awan yang berarak ke selatan. Wajahnya penuh senyum mengingat pertemuannya pertama kali dengan Sukesih di pinggir sungai, dalam perkampungan Cibeo yang terletak di wilayah Baduy dalam.


Di atas bukit, pikirannya melayang ke saat Karya baru datang dari Ciboleger, wilayah Baduy luar. Ia sengaja masuk ke perkampungan Cibeo mencari hasil kerajinan Baduy dalam untuk di jual ke kota atau kepada wisatawan yang datang berkunjung.


Perjalanan dari Ciboleger ke Cibeo harus melalui tujuh bukit dan jalan setapak yang sempit. Terkadang harus melewati jalan yang curam di pinggir bukit. Peluhnya yang berubah lengket melekat erat di tubuhnya. Ia mencari sungai, sekedar membasuh badan. Kerinduan masa kecilnya kembali terhampar begitu ia memasuki sungai yang berhulu di sungai Ciujung yang belum tercemar.


Bapak dan Emaknya pun orang dulu orang Baduy dalam, mereka bertemu dalam perjodohan. Namun tawaran menggiurkan dari kerabat dekat membawa mereka meninggalkan warisan nenek moyang. Semboyan ‘tanpa perubahan apapun’ tak lagi jadi pegangan. Mereka mulai mengais uang dan membangun warung kecil di ujung kaki pegunungan Kendeng, desa Ciboleger.


Kemahirannya menyelam di sungai pada masa kecil menguji nyalinya. Karya berenang di sungai bak ikan yang baru bertemu air. Sesekali kepalanya muncul ke air lalu masuk lagi tak terlihat. Sampai akhirnya Karya tersentak dengan pemandangan seorang perempuan muda yang polos di depannya. Titik-titik air meluncur lembut dari kulitnya yang kuning, meliuk-liuk mengikuti alur tubuhnya. Rambutnya yang panjang terurai menutupi sebagian tubuhnya yang indah. Karya hanya terdiam terpaku menatapnya.


“Aaaah..” teriak si perempuan kaget, ia segera menenggelamkan keindahan tubuhnya ke dalam air sungai coklat muda. Matanya yang masih berada di atas air langsung tertutup begitu melihat karya yang telanjang dada.


“Maaf” Karya buru-buru membalikkan badannya.


Ia melangkah di dalam air, menuju semak bambu dan mencari pakaiannya yang di simpan. Kemudian berjalan ke rumah jaro Sukarna. Duduk menunggu dengan kaki bersila di teras bambu depan rumah jaro Sukarna, bayangan indah perempuan di sungai masih menari-nari dalam benaknya. Ia sibuk mencari sosok itu di sela-sela anyaman bambu yang jadi alas duduknya.


Tak lama jaro Sukarna yang baru datang dari ladang menghampirinya. Perawakannya kecil dibalut dengan baju tenun kasar berwarna putih kumal. Ia juga memakai sarung lurik. Kakinya telanjang, tampak akrab mengenal bumi. Rambutnya yang panjang disembunyikan di balik ikat kepalanya yang juga berwarna putih kusam.


“Sudah lama Karya” tanya jaro Sukarna ringan sambil ikut duduk bersila di depan Karya.


“Tidak juga, tadi mandi dulu di sungai” jawab Sukarna.


Jantung karya seolah berhenti berdenyut begitu melihat sesosok perempuan muda memasuki rumah panggung jaro Sukarna. Ia mencari sosok polos dalam tubuh perempuan muda tadi lengkap dengan kain lurik yang tersangkut di pojok semak bambu.
Mata Karya terus mencuri sosok perempuan tadi yang berjalan di depannya.


“Sukesih, sediakan minum” perintah jaro Sukarna kepada anaknya.


Sukesih yang baru datang dari sungai segera ke dapur yang hanya dibatasi oleh bilik bambu yang hitam abu jelaga. Tangannya lincah menyeduh bubuk teh. Tak lama ia membawa minumannya keluar dan sempat memandang Karya. Sebuah senyuman di lemparkan dari bibir Sukesih.
Hati Karya berdesir kencang…


***
Keesokan harinya Karya datang lagi ke Cibeo. Ia langsung menuju ke rumah jaro Sukarna. Namun ia tak menjumpai Sukesih di sana ataupun jaro Sukarna di sana. Kaki Karya langsung menuju sungai.


Sepagi ini Sukesih pasti masih mencuci di sungai.Karya berjalan melewati jejeran rumah panggung yang berdinding anyaman bambu. Tiang-tiang kayu tampak suram dan kaku memandang senyum wajahnya. Jalan tanah yang ia lewati sebagian berbalut tumbuhan hijau, sedikit licin dan berkontur.


Daratan rendah menjorok ke sungai di depan matanya. Ia semakin semangat mempercepat langkahnya. Dari tepi sungai, ia melihat Sukesih di dekat batu besar. Pakaiannya di pukul-pukul ke batu besar, lalu kembali dicelupkan ke dalam air sungai. Tak ada buih sabun disana.
Karya hanya diam menatap Sukesih dari pinggir sungai. Ia tak lagi menghiraukan perempuan-perempuan yang ramai membicarakan kehadirannya di tepi sungai.


Dari kejauhan, Sukesih melihat Karya. Ia tersenyum malu dan mempercepat mencucinya.
Karya masih menunggu Sukesih di tepi sungai, yang sebentar lagi menghampirinya. Mereka bertemu dan saling bertukar senyum. Wajah Sukesih memerah dan mereka berlalu dari tepi sungai.


Sepasang mata dari seberang sungai memandangi keduanya beralu. Dadanya terbakar melihat Sukesih bersama lelaki lain. Ada rencana busuk dalam benak lelaki itu.


***


Matahari hampir tenggelam, Karya baru selesai membungkus barang-barang kerajinan yang dibelinya dari masyarakat Cibeo. Ia membawa madu alam, tas akar kayu, kain lurik dan beberapa gantungan kunci serta gelang akar. Bibirnya menyungging puas. Semua ia tukar hanya dengan teh, kopi dan gula yang ia bawa dari kota. Kegiatan ini menjadi kegemarannya sekarang, selain untungnya besar ia bisa lebih sering melihat wajah cantik milik Sukesih dan mengenalnya lebih dalam.


Karya bergegas meninggalkan Cibeo, sepanjang jalan kepalanya menghitung keuntungan yang akan diperolehnya. Namun pikirannya resah, hari ini ia tak bertemu dengan Sukesih, anak perempuan jaro Sukarna. Bayangan wajah sukesih bergantian dengan lembaran rupiah yang akan diraupnya. Langkahnya dipercepat melihat hari mulai gelap.


Langkahnya terhenti di dekat lumbung-lumbung padi yang mengawal perkampungan Cibeo. Dadanya bergemuruh kencang begitu mendengar suara erangan dari arah kumpulan lumbung padi. Perlahan, ia mencari arah suara mencurigakan. Daun kupingnya berdiri menyimak setiap suara dari setiap lumbung padi yang berbentuk barisan. Akhirnya karya menemukan asal suara. Ia segera menuju semak di belakang lumbung padi yang kaku berdiri. Dari balik semak, ia melihat dua sosok bayangan. Satunya tergeletak tak berdaya di bawah cengkraman tubuh lainnya.


Karya belum sempat menyadari semuanya, namun sesosok lelaki di dalam semak menyadari kedatangan Karya, ia segera melompat menghampiri Karya dan memukul keras. kemudian berlari kencang. Di kegelapan malam, karya masih mengenali sosok itu.


“Komar jahanam” umpatnya dalam hati.


Komar adalah teman masa kecilnya dulu, ketika orangtuanya masih menjadi bagian warga baduy dalam. Komar pula yang sering menantangnya berenang di sungai atau bersaing mencari madu alam di tengah hutan. Komar tak pernah berubah, tabiatnya licik seharusnya bukan milik orang baduy dalam. Ia ingat benar, ketika Komar mengajaknya ke kota terdekat untuk melihat upacara seba. Menikmati penyanyi dangdut dengan goyang aduhai. Ketika sampai ke Cibeo, Komar mengadukan perbuatannya pada jaro Sukarna. Akhirnya Karya harus menjalani hukuman adat. Bayang-bayang Komar memang tak pernah lepas dari ingatannya.


Karya segera mendekati sosok tubuh yang masih lemah tak berdaya. Tubuh yang halus dan berliku itu milik seorang wanita. Karya menghalau rambut panjang yang menutupi wajah perempuan yang belum siuman tadi. Hatinya berdesir, ia sangat mengenali perempuan di depannya.


Bersambung...

Cinta dari balik tujuh bukit (prolog)


Bulan purnama masih bersanding dengan bintang-bintang di atas langit malam yang cerah. Cahayanya terus membuntutinya berlari. Ia mencari bayangan pohon besar di dalam hutan untuk bersembunyi. Golok dalam ganggaman tangannya yang kokoh meneteskan cairan darah kental yang berkilat di tempa sinar bulan. Wajahnya bersimbah keringat, nampak cemas dan berharap. Kakinya yang besar berlari tak terarah, diikuti gerakan tangannya yang berotot keras.


Dari atas bukit, ia memandang perkampungan di lereng bukit. Jejeran rumah panggung beratap rumbia masih sama, gelap dan tertutup pepohonan. Sebentar lagi akan terlihat jelas seiiring datangnya fajar. Ia alihkan pandangannya ke ladang, tak jauh dari perkampungan. Matanya buram dan gelisah melihat dalam ke sebuah saung beratap rumbia di tengah ladang. Raut wajah kecewa tampak jelas.


Seketika gerak refleksnya bangkit, matanya yang kecil mengawasi sekitarnya ketika mendengar suara gemerisik dari semak pohon bambu. Sepasang mata merah mengikuti gerakan tubuhnya yang kaku. Golok yang selalu diselipkan di pinggangnya kini masih berlumur darah. Ia mengangkatnya tinggi-tinggi siap menerjang musuh. Kakinya memasang kuda-kuda. Alam pikirannya berkecamuk penuh duga. Komar kah yang mengikuti larinya.

Kamis, 20 September 2007

Musim amplop tiba


Semburat rona jingga menghiasi ufuk timur. Perlahan menghilang ditelan cakrawala. Tetes embun pagi baru saja bergulir pergi. Kokok ayam jantan mengiringi datangnya pagi. Kampung keling di pinggiran kota sudah tampak ramai. Pedagang buah mulai membenahi dagangannya untuk dibawa ke pasar. Kaum perempuan hilir mudik menuju pasar. Kaki kecil anak -anak berseragam sekolah berjalan lincah melewati rumah haji Abas. Suaranya riang mengalahkan suara gerakan serentak dari barisan pemuda tanggung yang sedang berlatih bela diri di halaman rumah haji Abas. Salah satu mantan jawara yang sekarang menjadi tokoh kampung yang paling berpengaruh di kampung keling.

Haji Abas berdiri di depan barisan, memberi perintah dan aba-aba dengan gerakan tangannya yang lincah. Sesekali kumis lebatnya bergerak-gerak mengikuti bibirnya mengeluarkan suara gerakan melompat.

“Bang, sini bang. Penting nih” istri haji Abas dari teras melambaikan tangan.

Haji Abas menghentikan tangkisannya. Mulutnya tampak komat kamit meminta Juri, asistennya untuk menggantikan sejenak. Segera menghampiri istrinya.

“Minah, pan abang udah bilang. Jangan ganggu kalau abang lagi ngajar. Apaan sih, kayak darurat perang aja” kumisnya ikut naik turun mengikuti mulut Haji Abas. Diraihnya kopi kental buatan istrinya di atas bale.


Mulut Minah ditekuk mendengar ocehan suaminya. “Ini emang darurat perang Bang”

Minah mendekati suaminya dan berbisik, “Beras abis Bang”.

Haji Abas diam seperti berfikir kencang. Diletakkan kembali gelas kopi yang sudah dipegang.


“Mmm, hari ini pan murid gue bayaran. Ntar siangan gue kasih uang”.


Haji Abas melayangkan pandangannya ke jejeran pohon rambutan di samping rumahnya. Belum ada yang berbuah, berarti belum ada pemasukan. Ia kembali ke halaman, dahinya berkerut seperti berfikir kencang. Di perhatikan satu-satu anak muridnya. Sesekali membetulkan gerakan yang salah.

“Assalamu'alaikum cang Aji” suara lantang membuyarkan pikiran haji Abas.

“Wa'alaikum salam” kepalanya bergerak-gerak mencari-cari sumber suara yang datang.

Seorang anak muda yang tak pernah dikenalnya. Wajahnya bulat dengan pipi gemuk yang menggantung. Kemejanya tampak kebesaran dengan celana beigy hitam. Meskipun gemuk, pemuda ini lincah bergerak mendekati Haji Abas. Ia menyodorkan tangannya yang langsung di sambut hangat.

Haji Abas masih kebingungan, namun ia mempersilahkan tamu tak dikenalnya duduk di bale depan.

“Cang Aji, aye Roni. Encang pasti kenal sama Haji Dudungkan?”

Wajah Dudung, juragan kecapi yang juga kerabat dekatnya langsung terbayang dibenaknya. Roni melanjutkan perkenalannya

“Haji Dudung itu pan punya anak, Ali. Ali itu punya guru ngaji”

“Nah trus, lo apanya Dudung?” Dahi haji Abas tambah berkerut dan kumisnya bergoyang goyang.

“Aye tetangganya guru ngajinya Ali, yang anaknya Haji Dudung” sambil tersenyum puas

“Busyet dah, jauh amat. Trus maksup lo apa, pagi-pagi dah ke rumah gue. Lu kan tau kalau gue lagi ngajar murid gue, gak boleh ada yang boleh gangguin. Sekalipun si Minah” suara Haji Abas menggelegar bak menakuti musuhnya.

Tubuh Roni mengkerut mendapat kopi pahit dari haji Abas.

“Maap cang aji, Minah itu siapa” suaranya kecil ketakutan

“Aaaag, lu tu ye, cepet apa maksup lo” rona memerah menghiasi wajah haji Abas.

“Maap cang aji, aye cuma nyampein pesan pak lurah aje”

Wajah haji Abas kembali tenang begitu mendengar kata pak lurah.

“Begini cang aji, encang kan orang besar dan paling pengaruh disini. Pak lurah mau minta tolong. Tapi bukan secara resmi. Dikit lagi pemilihan orang nomer satu di kota ini. Peristiwa ini kan penting banget buat kita cang. Pak lurah minta supaya kampung keling bisa diamanin sama Cang aji”

Haji Abas mengangguk-angguk seperti tanda mengerti.

“Calon resminya kan cuma dua. Pak lurah minta supaya orang nomer satu di kota ini bukan orang sembarangan. Dia harus pengalaman mengelola kota ini cang. Jangan sampai budaya kita yang diturunin dari nenek moyang hilang. Jangan sampai ada kemacetan dan gaji pegawai di kota ini bisa naik cang. Jadi orang miskin bisa berkurang” tangan Roni bergerak-gerak seperti sedang bersajak.

“Jadi cang, orang yang paling pantas ya orang dalam sendiri. Bukan calon yang sok tau. Calon yang baru masuk mesjid aja, ngomongnya dah selangit. Kayak kyai aja” mulut Roni monyong-monyong.

Dahi haji Abas makin berkerut, ada ketidaksetujuan dengan pernyataan Roni. Namun ia urung mengungkapkan. Matanya yang bulat dan tajam terus memperhatikan Roni promosi soal calon nomer satu di kota ini. Sesekali kepalanya mengangguk setuju, sesekali geleng-geleng kepala tak setuju. Satiap Roni bicara dengan bahasa tinggi dahinya berkerut.

“Cang, ane pamit dulu ya. Mau ke kantor takut kesiangan” Roni menyalami haji sambil menyelipkan amplop putih ke tangan Haji Abas “Tolong amanin ya Cang, Assalamu'alaikum”
Dari atas teras, Haji Abas memandangi punggung Roni yang menjauh pergi.

“Juri, latihan selesai” sambil mengacungkan jempol kanannya dan masuk rumah mencari Minah. Ada senyum cerah di wajah haji Abas.


***
Matahari baru tenggelam. Suara adzan maghrib berkumandang di kampung keling. Haji Abas bergegas menuju mesjid di belakang rumahnya. Wajahnya senyap melihat barisan jamaah sholat maghrib yang semakin berkurang. Seusai sholat haji Abas bergegas pulang, mencicipi semur daging buatan istrinya malam ini.

“Assalamu'alaikum cang Aji” Rohmat, tetangganya menghalangi niatnya pulang.

“Wa'alaikumsalam”

“Maaf cang Aji, ada waktu gak, ane mau ngobrol bentar”

Haji Abas dan Rohmat menuju pojok mesjid. Keduanya duduk bersila dan tampak terlihat pembicaraan serius. Sesekali badan haji Abas terlihat condong ke depan menyimak pembicaraan Rohmad.

“Makanya cang aji, pemimpin nomer satu di kota ini harus punya wawasan luas, berakhlak mulia dan punya visi yang jelas. Harus punya orientasi kemanusiaan. Cang aji kan dah ngerasain bagaimana rasanya kebanjiran. Kota makin macet dan pengangguran makin banyak. Kriminalitas tinggi. Dah gitu, katanye banyak korupsi. Kalau calonnya die juga, dari orang dalem juga. Mau jadi ape kota kite ini. Ya gak cang aji” menatap tajam haji Abas seperti minta persetujuan.

Haji Abas hanya manggut-manggut.

“Saya minta tolong cang Haji, mudah-mudahan kota kita yang tercinta ini bisa pulih kembali”
Keduanya terdiam. Haji Abas terlihat bimbang.

“Sebelumnya, saya ucapin banyak terima kasih cang Haji” Rohmat menyalami tangan haji Abas sambil menyelipkan amplop putih ke genggaman haji Abas.

“Saya duluan cang Haji, Assalamualaikum..”

Haji Abas hanya termangu melihat kepergian Haji Rohmat, tetangganya salah satu pengurut partai.


*****
Malam ini ruang Makan rumah haji Abas cukup meriah. Anak dan cucunya yang tinggal di kampung lain datang berkunjung. Minah masak semur daging, kesukaan seluruh keluarga. Riuh suara televisi bersahutan dengan suara cucu haji Abas.

“Beh, makannya lahap bener. Kayak abis dapet durian runtuh aje” celetuk Yusuf, anak tertuanya.

“Bisa aja lu, ini karena semur emak lu yang enak banget”

Minah, ikut menyambar “Babe emang dapet durian runtuh cup. Hari ini dia dapet dua amplop dari calon pemimpin di kota ini”.

“Wuuih, banyak banget beh. Ucup juga mau, mana bagian ane” sambil menodongkan tangannya ke hadapan haji abas yang sibuk makan.

“Apaan sih lu Cup, justru babe lagi kecewa nih” Haji Abas minum air putih, melancarkan pembicaraannya.

“Kecewa kenapa beh?” Ucup terlihat heran.

“Iye, seandainya ada calon Independen. Entu tuh, calon lain selain yang ada sekarang. Babe pasti bisa makan semur daging tiap hari. Makanya Babe setuju banget sama komentator yang di tipi itu”

“Kok, gituh be?” kali ini Minah yang bingung.

“Iye, kalau ada calon independen, haji Jufri sama Juragan Somad bisa ikutan jadi calon. Nah amplop yang gue terima tambah banyak dong. Pan elo bisa bikin semur daging tiap hari” jelas haji Abas

“Babe....” teriak Minah dan Yusuf bersamaan.

sarie

Rabu, 19 September 2007

Bukan untukmu


…Usai sudah untukmu
Malamku bukan punyamu
Meluruh syair cintaku padamu
Berselingkuh pula si kidung rindu
Sepanjang bulan maghfiroh-Mu

Hati ini bukan lagi milikmu
Telah tandus dan mengering semu
Daunnya meranggas dan terbang bersama angan biru
Melintasi titian-Mu
Sepenuh bulan berkah-Mu

Kasihku
Izinkan aku tuk merindu
Tidak padamu
Mengarungi hidup dengan sebuah kecintaan penuh
Tidak padamu

Aku ingin siapkan sayapku
Menembus langit ketujuh
Mendatangi singgasana penguasa Arsy
Pada malam seribu bulan…


Sarie edited by dhaku
16 September 2007

Selasa, 18 September 2007

Berpeluh rindu

Setengah purnama kau hadir
Ikuti jejak nadir
Meretas kerinduan
Mengalungkan kemesraan

Purnama hampir tiba
kau masih di sini
Pada kursi yang sama
Meraih keindahan

Kau dapatkan semua
Satu-satu dengan senandung cinta
Menyapu perlahan
Membawaku terbang

Purnama sudah tiba
Seiring bintang paling terang
Kau ingin meraihnya
Untuk kembali di sini

Ku coba yakini
Bintang terang itu adalah milikku
Namun aku teramat rapuh
Berpeluh rindu, ku menunggumu

sarie

Senin, 20 Agustus 2007

CINCIN


Sinar matahari pagi yang masuk lewat jendala kamar menampar wajahku. Biasanya aku akan mengumpat orang yang tega membuka jendela kamar dengan lebar dan mengusik tidurku yang belum selesai. Namun kali ini berbeda, perbuatannya telah membantuku bangun dari mimpi yang ingin ku akhiri. Mimpi yang kesekian kali tentang kau. Ya, kau..

Aku berusaha mengumpulkan tenaga untuk bangun dan mengatur nafas yang terasa sesak. Setelah hampir dua tahun kita berpisah, kau masih menghantuiku di alam bawah sadarku. Ku lihat kau bersama seorang wanita, dalam mobil kita. Mobil kita bersama yang akhirnya kau beli ketika kita berpisah. Tepat satu bulan sebelum kita menikah di musim bunga.

Sejak dulu, aku sendiri tak pernah mempercayai arti mimpi. Bagiku mimpi hanyalah sebuah pikiran bawah sadar yang keluar ketika kita tidur. Mungkin mimpi ini hanya sebuah kerinduan yang membeku dan dalam. Mimpi ku pagi ini seperti sebuah ketakutanku akan kehilangan mu, meski aku tak pernah mengungkapkan.

Hari ini aku kembali mengingat mu, perjalanan kita. Aku berjalan menghampiri lemari di pojok kamar. Kubuka pelan dan mataku tertumbuk pada kotak biru yang diselimuti debu. Kuraih kotak itu dan meniup debu-debu di atasnya. Perlahan aku membuka kotak itu, seperti membuka kesedihan dan mengoyak hati yang rapuh. Aku masih menguatkan diri, dan mencoba tegar. Dua tahun bukanlah waktu yang singkat untuk melupakan dan aku masih menyimpan kerinduan padamu. Masih mengusung harapan takkala aku melihat lagi foto-foto kita dan dua buah cincin emas yang dulu bakal mengikat kita.

Kupandangi dua buah cincin yang tersimpan rapi dalam kotak berbentuk hati berwarna merah. Aku ingat, kau membuat desain untuk kita. Desain sederhana yang sangat manis.
“Kenapa tak ada mata nya mas, seperti cincin kawin yang lain?”
“Aku ingin cincin ini polos, tak ada penghalang. Seperti keinginanku pada perjalanan cinta kita. Aku hanya akan menambah aksen buram pada tepinya, agar lebih indah” katamu waktu itu di sebuah toko perhiasan dengan senyum mengembang. Wajahmu saat itu lain dari biasa. Kau terlihat lebih ceria dan bercahaya. Bahkan kau pula yang menawar harga dan menentukan nama yang melingkar di bagian dalam cincin itu.

Kututup kembali kotak berbentuk hati merah itu, dan ku kembalikan ke dalam lemari bersama foto dan kenangan kita. Kali ini aku tak mau ada air mata. Sudah terlalu lama hati ini membeku dan hingga saat ini aku masih menemukanmu sendiri bermain bersama waktu. Kita tak lagi pernah bertemu dan itu sudah cukup bagiku. Meskipun terkadang aku ingin kita bertemu dan kembali…

Air yang membasahi tubuhku dari shower menyejukkan hati ini, meskipun bayangmu kembali hadir. Aku tak ingin berlama-lama mengingat semuanya. Aku merapikan diriku dalam cermin dengan pakaian kerja terbaikku. Sepatu hitam casual dan tas tangan. Aku ingin tambil beda hari ini. Aku akan menghadiri seminar soal mobile marketing di Hotel bintang lima. Undangan itu meluncur ke meja ku sebagai bonus tambahan prestasiku bulan lalu. Angka-angka penjualanku kembali menjadi yang terbaik.

“Semoga aku menemukan pangeranku di sana” batinku tertawa.

Aku nyalakan mesin mobil perlahan dan segera bergabung dengan kemacetan Jakarta. Debu-debu yang berterbangan mengubah langit Jakarta menjadi kelabu. Matahari bersinar lebih terik dari biasanya. Kepungan kemacetan di depan komdak sudah kulewati dan aku mengambil belokan ke kiri, memasuki parkiran hotel bintang lima. Aku bergegas masuk, sudah terlambat tiga puluh menit.

Ruangan ballroom yang besar terlihat penuh. Suara Hermawan Kartajaya menggema dalam ruangan, meskipun sosoknya di atas podium tak terlihat jelas dari depan pintu. Aku mengambil duduk paling belakang agar tak menarik perhatian. Mencoba menyimak setiap kalimatnya.

Ternyata aku bukan satu-satunya orang yang terlambat. Seorang lelaki dengan dasi berwarna mencolok berjalan ke arah tempat duduk yang kosong di sebelahku. Dasi warna orange itu terlihat menyala dari kejauhan di atas kemejanya yang putih. Wajahnya masih menunduk mencari jalan. Kemudian mendekat dan hatiku bergemuruh lebih kencang dari biasanya. Bima, ia sudah ada di sebelahku. Ia hanya memandangku tipis dan kaku, sedangkan aku membalasnya dengan senyum biasa. Bima duduk di sebelahku. Kami hanya diam. Tak ada ucapan apa kabar atau selamat datang setelah dua tahun tak bertemu. Hanya aroma menthol dari tubuhnya yang tersisa.

Suara-suara di hatiku lebih kencang terdengar daripada presentasi pak Hermawan. Aku tak tahu dengan Bima. Namun ia duduk diam, memandang ke depan dan seperti serius menyimak.
Kepalaku seperti mau pecah, tak ada satupun kalimat presentasinya yang ku pahami. Konsentrasiku buyar seketika. Ku buka tasku, tampaknya lebih baik aku membaca buku untuk menenangkan diri. Aku menemukan sebuah novel lama, message in a the bottle karangan Nicholas Sparks dalam tas.

“DAMN, kenapa buku ini yang ada dalam tasku” rutukku kecewa.

Kulihat sekilas Bima memandang novel itu, lalu wajahnya dipalingkan lagi ke depan. Pikiranku kembali melayang di saat kita pertama kali bertemu di toko buku.

“Buku itu bagus ya” Seorang laki-laki di sebelahku menanggapi novel yang sedang kupegang di toko buku pada awal musim hujan.
Aku menoleh dan memandangnya, ia tersenyum. “Oh ya, aku belum pernah baca, tapi pernah nonton filmnya” jawabku
“Walaupun aku laki-laki, tapi aku cukup tersentuh dengan surat-surat yang dikirim Garret pada Catherine. Wanita yang sangat dicintainya. Baca deh, lebih bagus dari filmnya”
“Gitu ya”
“Oh ya, nama kamu siapa? Saya Bima, suka baca novel juga?”

Perkenalan pertama dengan Bima bermain lagi dalam benakku. Dada ini rasanya sesak sekali, udara di sekitar seperti berkurang. Aku mengambil nafas panjang perlahan lalu mencoba untuk membacanya, mengacuhkan kenangan itu. Tapi aku tak sanggup. Aku memasukan kembali novel itu dalam tas ku. Kini aku mencoba konsentrasi dengan uraian-uraian panjang dari arah depan.

Bima masih diam. Ia seperti tak pernah mengenalku, seperti tak pernah menjamahku atau tak pernah terbang ke awan ketujuh menikmati indahnya cinta yang pernah tercipta. Bima seperti membeku, dan hawa panas muncul dikedua mataku.

Sekilas kulihat Bima menerima telpon, suaranya lirih. Aku hanya mendengar ia mengatakan “sudah di bawa ke rumah sakit, jangan lupa minum obat” dan terakhir aku mendengar “hati-hati ya” dengan suara penuh senyum. Aku bisa merasakannya lewat suaranya. Suaranya penuh senyum. Suara yang pernah ia berikan padaku.

Dulu, ia selalu melakukannya untukku. Ia selalu menutup pembicaraanya kepada ku dengan kata itu. Mungkin hanya sebuah kata biasa yang bisa diungkapkan semua orang. Namun kata yang keluar dari mulut Bima terasa lain. Kata itu begitu dalam dan takut kehilangan.
Aku menunduk diikuti untaian rambutku yang jatuh, mencoba menghapus jejak air mata di sudut. Bima masih diam dan aku semakin tersiksa. Tersiksa dengan semua bayangan tentang kita.

“Aku lebih suka dicium di keningku” menjawab pertanyaanmu.
“Kenapa kening” wajahmu terlihat bingung sore itu.
“Aku tak tahu, menurutku kecupan di kening itu lebih jujur dan tidak menggunakan hawa nafsu mengebu-gebu. Itu sebuah ungkapan cinta yang tulus, yang ingin menjaga keutuhan selamanya. Meskipun cinta adalah hawa nafsu, namun aku ingin kita bisa mengendalikannya. Seperti avatar mengendalikan air, tanah, api dan udara”
Kau tertawa lebar dan mengacau rambutku. Baru kali ini aku melihatmu tertawa lebar, lepas. Kau lebih tampan dengan tawamu itu, tidak dengan senyum kaku mu atau tawa yang terlalu tipis dan terasa berat. Aku ingin membuatmu seperti ini di tengah beban keluarga yang kau pikul. Aku tahu, sakit ibumu yang menahun membuat mu terus bersedih. Kau memang bertanggung jawab dengan biaya pengobatan ibumu, juga biaya sekolah adikmu. Aku tahu dan menyadarinya penuh, sebagai anak pertama kau sudah sadar sejak kau lahir.

Bayangan wajah ibumu kembali hadir di pelupuk mataku yang terasa semakin panas. Dia sangat menyayangimu dan kau pun begitu. Dia tak pernah menuntut mu berbuat lebih, dia hanya ingin kau bahagia. Dan aku jelas sekali melihatnya di mata ibumu yang tersenyum. Sebutir air mata menetes, mendegar rencana kita untuk menikah. Ibu mu begitu berharap dengan masa depanmu, meskipun ia harus rela kehilangan mu, untuk ku miliki.

Aku tak sanggup lagi dengan keadaan ini, aku sudah bersiap untuk menoleh ke samping kananku dan menyapa mu hangat. Namun semua keinginan itu kembali aku kubur dalam-dalam begitu mataku terpaku pada cincin emas polos yang melingkar di jari telunjuk tangan kananmu. Nyawaku seperti lepas dari tubuh ini, lemas dan tak bertenaga. Kepalaku pening dan perutku seperti bergejolak.

Ku alihkan pandangan kedepan, namun pemandangan terlihat blur dan lebih gelap. Cincin itu, hampir sama dengan design yang pernah kau buat untuk kita. Hanya saja bentuknya lebih lebar dan terkesan norak. Mungkin karena bentuknya atau penilaianku semata.

Aku langsung keluar dari ballroom, masih kulihat Bima memandang kepergianku. Aku menghirup udara segar di luar dan merenggangkan paru-paru yang terasa terjepit. Aku mengambil telepon seluler dari dalam tas dan memencet sebuah nomer.

“Hai Hen, lagi dimana”
“Key, aku lagi di plaza senayan. Ketemu klien, dia pingin suasana lain katanya. Kamu dimana?”
“Wah pas banget Hen, ketemu klien sampai jam brapa?”
“Ya, paling sampai jam dua-an. Knapa Key?”
“Kamu maukan temenin aku nonton setelah itu?”
“Kamu gila Key, siang begini. Kamu gak kerja?”
“Mau gak?”
“Ya udah, aku tunggu di lantai tiga ya”

Telepon terputus, aku matikan telepon genggamku dan menuju parkiran. Aku memacu mobilku ke arah jalan Asia Afrika. Bayangan Bima masih bermain di kepalaku.

“Maaf dik, sepertinya mulai sekarang kita teman aja ya”
Kata-kata Bima meluncur cepat dan menikam hatiku. Punggungku terasa panas dan aku tak bisa bicara. Akhirnya Bima mengucapkan kalimat itu, setelah selama hampir enam bulan ini ia bersikap beda denganku. Tepatnya sejak pertengahan tahun lalu, ketika ia tiba-tiba mengundur niatnya untuk menikah denganku karena ibunya kembali masuk rumah sakit. Ia semakin berbeda. Ia terasa jauh dari hatiku meskipun kita duduk berdekatan.
Aku hanya diam menunduk, mengumpulkan sisa asa. Kalimat-kalimat Bima seperti menari-nari di pelupuk mataku.
“Dik, kamu terlalu sibuk. Seringkali keluar kota, aku sampai harus buat janji sama kamu untuk bertemu. Aku bukan klien kamu dik. Kamu juga sepertinya gak percaya sama aku. Kamu seharusnya tau, klien dan temenku banyak. Kamu harus berubah dik, jangan hanya nonton film kartun, sedikit dewasalah”
“Terus, kenapa kita harus putus? Karena sibuk? Apa aku salah nonton kartun? Aku telpon kamu karena aku ingin tahu keadaanmu, aku sayang sama kamu. Bukan karena aku cemburu dengan teman-temanmu. Kamu gak pernah bilang gak suka dengan apa yang aku buat. Kenapa hanya karena itu, kamu ingin putus?” air mata ku sudah menggenang.
“Sebenarnya, aku hanya ingin berkonsentrasi dengan keluargaku. Menyembuhkan ibu dan menyelesaikan sekolah adik-adikku. Mungkin sekarang bukan waktu yang tepat untuk menikah dik dan aku tak ingin meghalangi lelaki lain” Bima menunduk. Ia tak berani menatapku.

Aku terdiam, alasannya terakhir menjadi senjata yang cukup ampuh setelah ia berubah menjadi orang lain. Malam itu ia benar-benar melepasku. Bukan berpisah untuk sementara kemudian bersatu kembali seperti yang selama ini terjadi pada hubungan ku dengan Bima

Air mataku meleleh dan aku sudah di jalan Asia Afrika. Aku masuk ke parkiran gedung dan menuju lantai tiga. Aroma popcorn dari gedung bioskop sudah menyeruak ke hidungku. Hendi sudah berdiri di depan gedung bioskop. Ia melambai-lambaikan dua buah tiket dan sekotak popcorn ke arahku.

“Yuk cepat, filmnya sudah mulai” ia mengandeng tanganku. Ia tak pernah melakukannya padaku. Aku sedikit terkejut dengan gandengannya, aku hanya memandangnya dari belakang. Kemudian kami mencari tempat dan duduk.

“Nih, biasanya kamu cari ini” sambil menyodorkan popcorn manis kesukaanku.

Aku tertawa senang, dia temanku yang paling baik. Meskipun kita baru bertemu namun ia mudah mempelajari kebiasaanku. “Thanks ya”

Aku menikmati popcorn yang masih hangat, sambil menonton film. Tiba-tiba tanganku beradu dengan kotak beludru yang sudah ada di dalam kotak popcorn.

“Hen, apa nih?” sambil memperlihatkan kotak beludru di depan wajahnya.

“Buka deh” Hendi memiringkan wajahnya ke arahku. Ia mamandang wajahku yang keheranan sambil tersenyum.

Aku membuka kotak beludru tadi, dan sebuah cincin emas putih bermata berlian bertengger di sana. Tampak mengkilap dihujani cahaya dari layar bioskop.

Would you marrie me, honey?” Bisik Hendi mesra di telingaku. Ia mengecup keningku dan menggenggam erat tanganku. Tak lupa, ia mengacau rambutku.

Aku hanya diam, tak terasa air mata yang ingin kusembunyikan dari Hendi menetes lagi. Kali ini aku tak mengerti, apakah air mata kebahagiaan atau kesedihan. Semuanya melebur dalam asa yang kembali muncul.


14 agustus 2007

Sabtu, 21 Juli 2007

Langit di atas langit


Matahari sudah condong ke barat Jakarta. Teriknya yang menyengat perlahan berkurang ditutupi awan. Debu jalanan bercampur gas pembuangan kendaraan berterbangan, memaksa pejalan kaki menutup hidungnya dengan saputangan. Sunarto tak punya saputangan, terpaksa ia jepit hidung dengan jari telunjuk dan ibu jari. Sekedar mengurangi asap knalpot yang meracuni darahnya. Di akhir pekan Jakarta tampak lengang, bahkan bis kota jarang terlihat. Sejak limabelas menit lalu Sunarto masih menunggu bis jurusan Senen-Blok M. Meskipun busway lalu lalang di depannya namun ia tampak cuek.

“Lumayan, bisa ngirit seribu lima ratus” pikirnya.

Tak lama kemudian, bis besar berwajah suram dan kumal berhenti di depannya. Setengah berlari, ia segera naik dan duduk di kursi paling depan. Wajahnya cerah membayangkan senyum manis Mimin temannya satu kantor yang akan ia temui di Blok M. Tak lupa ia amankan telepon genggam dalam kantong celananya. Menurut Amin, teman satu kontrakannya, copet paling suka beroperasi di bis jurusan ini.

Dielus-elus telepon genggam dalam sakunya yang baru dibelinya kemarin. Telepon genggam yang ini beda dari yang pernah ia miliki sebelumnya. Yang ini ada kamera di belakang, kata penjualnya kamera 1,3 megapixel. Tapi Sunarto tak tau apa maksudnya. Ia hanya tau telepon genggamnya bisa mengambil wajah Mimin yang manis dan menyimpannya. Seperti ia menyimpan wajah Mimin dalam hatinya.

Sepanjang jalan, ia terus membayangkan senyum manis Mimin dan gelondot manja di bahunya. Syukur-syukur masih dapat kecupan mesra. Namun hatinya gusar ketika membayangkan wajah Biyungnya (Ibu dalam bahasa jawa-red) di desa. Biyung pasti marah besar kalau tau tabungannya selama setahun ia habiskan untuk sebuah telepon genggam berkamera. Apalagi bulan ini ia absen ngirim wesel demi mengabadikan wajah Mimin dalam telepon genggamnya. Gajinya bulan ini yang ngepas sebagai office boy di Jakarta, hanya tinggal recehan dan selembar lima puluh ribuan.

“Mudah-mudahan pak Irsan, bu Irna dan mas Hendra yang baik ngasih tip makan siang lebih besar besok” do’anya dalam hati.

Seandainya Agus, rekannya sesama office boy lantai sepuluh itu tidak naksir Mimin, tentunya ia tidak harus membeli telepon genggam berkamera ini. Raut mukanya berubah merah mengingat kejadian Jum’at kemarin. Mimin yang bertugas di lantai lima, satu lantai dengannya didatangi Agus. Agus yang notabene tau bahwa ia naksir Mimin, tanpa rasa bersalah berfoto berdua dengan Mimin di depan matanya dalam pantry. Seketika itu juga hatinya panas. Apalagi waktu Mimin mengungkapkan keinginannya untuk foto di taman Blok M dengan kamera dari telepon genggam. Langsung saja Sunarto menawarkan diri.

“Min, sama aku aja. Aku juga punya HP kayak gitu. Gambarnya lebih bagus malah” sambil menunjuk ke telepon genggam milik Agus.

“Oh ya mas? Kok masih pakai HP yang segede bagong itu?” tanya Mimin antusias
“Alaah, orang miskin kayak loe, gak mungkin punya HP kayak gue. Mana buktiin?” tantang Agus.
“Min, mas gak mau pamer. Mas itu orangnya, mmm… kalau kata pak Irsan low profile. Gak sombong walaupun ganteng. Makanya minggu besok kita foto-foto di taman Blok M. Jam 4 kita ketemu disana ya. Jangan lupa dandan yang cantik supaya bisa ngimbangin mas yang ganteng ini” Ujar Sunarto dengan kedipan mata dan senyum nakal ke arah Mimin.

“Oke, awas lo ya kalau hari minggu gak datang. Ndeso aja belagu” rutuk Agus yang melangkah pergi meninggalkan Mimin dan Sunarto di Pantry lantai lima.

“Maaf ya, Hpku terlarang buat foto orang yang gak ganteng. Lagian siapa yang ngajak kamu, capeek deh” celetuk Sunarto yang diikuti derai tawa dari Mimin.

“Permisi Pak, Bu, Mbak, Mas dan semua penumpang bis kota. Saya numpang ngamen buat biaya ibu saya yang sakit”

Suara nyaring pengamen kecil yang sudah berdiri disamping Sunarto membuyarkan lamunan. Bau matahari yang menyelimutinya menusuk ke hidung Sunarto. Rambutnya pirang, bukan karena di bleaching tapi terbakar matahari, tampak kering dan kusam. Ia memakai kaos kuning berlambang sebuah partai yang sudah tampak tua, lusuh dan kebesaran. Celana merahnya sudah sobek di pinggirnya pasti seragam sekolah. Kakinya coklat kelam dan telanjang, mengikuti warna kulitnya.

Tangannya yanng kurus menggenggam kecrekan yang terbuat dari sepotong kayu dan tutup bekas botol minuman, ia melantunkan lagu cinta yang sedang populer. Meskipun suara pengamen nyaring dan tidak sama dengan nada kecrekan, Sunarto tetap menikmati syair-syair cinta yang didendangkan. Telepon genggamnya masih terus di dalam kepalan tangannya dikantong celana.

Bis sedang berhenti di halte, mencari penumpang tambahan. Tiba-tiba telepon genggamnya bergetar. Ia segera menarik dari kantong celana. Sebuah pesan datang.

“Pasti Mimin” batinnya senang.

Dibukanya pesan dari Mimin, belum sempat ia melihat isinya, bocah kecil pengamen yang berdiri di sebelahnya langsung merampas telepon genggam milik Sunarto. Kaki kecilnya selincah kijang menuruni bis dan mengambil seribu langkah. Sunarto tak kalah cepat, segera mengejar pengamen cilik sambil teriak copet. Namun tak satupun yang menghiraukan teriakan dari kerongkongannya.

Pengamen kecil tadi terus berlari melewati angkuhnya gedung-gedung tinggi. Larinya semakin cepat begitu tau Sunarto mengejarnya. Sesekali pengamen kecil melompat menghindari trotoar yang rusak. Sunarto terus mengejarnya, demi telepon genggamnya yang berkamera. Demi wajah Mimin.

Orang-orang yang dilewatinya hanya bengong tak berkata apa-apa melihat keduanya. Sunarto terus berteriak, namun tampaknya tak ada orang yang percaya.

Kini pengamen kecil membelok ke belakang gedung menuju perkampungan penduduk yang padat. Kakinya tampak akrab mencumbui aspal bercampur tanah. Sunarto tak terasa lelah. Ia mengeluarkan kemampuannya. Jalan terjal berbukit sudah menjadi kebiasaannya ketika bersekolah di desa. Jalan aspal bercampur tanah di kampung Jakarta bukan tandingannya.
Mata Sunarto tetap fokus pada sosok bocah kecil pengamen yang membawa lari telepon genggamnya. Ia tak mau kehilangan segalanya. Kehilangan hidup dan masa depannya. tetesan peluhnya membasahi seluruh wajahnya. Kaos birunya basah.

Pengamen kecil saat ini berlari mengikuti rel kereta api jurusan Senen-Bekasi dan deretan rumah kardus dipinggirnya. Ia sudah tampak lelah dan layu. Sesekali kakinya kecil kesakitan menahan kerikil yang menusuk. Jejak keringatnya membekas di tanah. Tampaknya pengamen itu sudah mau menyerah. Sunarto terus mendekati larinya yang mulai payah.

Tak lama pengamen kecil menghilang ke dalam rumah kardus beratap triplek bekas. Sunarto terus mengikuti ke dalam. Sunarto terpaku di pintu. Rumah kardus itu hanya berukuran dua kali tiga meter. Tak punya jendela dan hanya punya satu ruangan. Tak ada perabotan di sana, hanya sebuah kardus yang berisi pakaian yang tampak lusuh. Di dekatnya ada bungkusan bekas nasi. Di pojok kanan dekat pintu ia lihat pengamen tadi berjongkok ketakutan. Di sebelahnya, terbaring lemah seorang perempuan berwajah pucat. Kedua dahinya ditempel koyo. Rambutnya berantakan, matanya merah. Sarung tipis menutupi hampir seluruh tubuhnya yang gemetar.

“Kenapa le, kamu nyopet lagi ya?” kata wanita itu setengah emosi dan suara gemetar.

“Mak, Tole Cuma mau bantuin Emak. Supaya Emak bisa diobatin” katanya terisak sambil menghapus air mata dengan punggung tangannya.

“Tapi Le, caranya bukan seperti ini. Kita memang miskin Le, tapi kita gak boleh mencopet. Gusti Allah pasti marah sama kamu, sama Emak dan Bapak” dengan muka memerah dan suara yang parau.

“Sekarang kembalikan barang yang kamu copet ke bapak itu, lekas le!” perintah Emaknya dari atas kasur tipis.

Sunarto masih menyaksikan adegan tadi tanpa berkata apa-apa. Perintah Emaknya menggerakkan kaki Tole. Diserahkan telepon genggam yang sejak tadi pindah ke tangan Tole. Ia berlari kencang meninggalkan Sunarto, Emak dan rumah gubuknya.

“Nak, saya minta maaf” katanya lirih. Sunarto melihat genangan air di sana. Di balik matanya yang merah.

“Gak apa Bu, namanya anak kecil. Saya yakin, Tole bukan anak yang nakal. Dia hanya belum tau bagaimana cara yang benar” sambil merogoh uang lembaran lima puluhan ribu dari dompet.

“Bu, saya pamit. Semoga cepat sembuh” Sunarto menyalami Emaknya Tole dan menyelipkan lembar lima puluh ribuan terakhir miliknya.

“Terima kasih nak, semoga Gusti Allah memberi balasan yang lebih besar” kini ia air matanya meleleh menahan haru.

Sunarto berjalan disepanjang rel kereta api jurusan Senen-Bekasi. Jejeran rumah kardus ikut mengikuti langkahnya. Rona jingga dari batas cakrawala menari-nari di pelupuk matanya yang hangat. Ingatannya tertuju pada Biyung di desa.

Dirogohnya kantung celananya, sekarang tinggal selembar uang lima ribu rupiah dan dua lembar seribu rupiah. Padahal perutnya sudah berontak dan bayangan Mimin bermain di benaknya.
pud